Saturday, August 15, 2015

Larisnya Hermeneutika 2

Hermeneutika sebuah metedeologi interprestasi bibel yang dipaksakan dalam menafsirkam Al Qur'an mempunyai dampak yang besar pada umat islam secara umum, antaranya:

1. Relativisme Tafsir
Para penganut hermeneutika menganut paham relativisme tafsir. Mereka beranggapan bahwasannya tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafsir dipandang produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporer, dan personal. Prof. Amin Abdullah (Rektor UIN Yogyakarta),beliau seorang aktivis hermeneutika, menggambarkan fungsi hermenutika sebagai berikut.

"Dengan sangat intensif hemenutika mencoba membongkar bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalo masih pada level manusia pastilah "terbatas" pastilah "parsial-kontekstual" pemahamanya, serta "bisa saja keliru". hal ini tentu bersebrangan dengan keinginan egois manusia yang ingin "selalu benar"

Jika konsep hermenutika seperti yang dipaparkan oleh Amin abdullah diterapkan, jelas akan membongkar dasar-dasar islam. Dalam bidang tafsir misalnya, mereka akan katakan bahwa semua tafsir merupakan produk akal manusia, dan karena itu pasti sifatnya terbatas , "persial kontekstual" dan bisa saja "keliru".

Argumentasi seperti itu sangatlah tidak beralasan. Islam adalah agama yang satu dan sepanjang sejarah umat islam bersatu dalam banyak hal. Umat islam sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang membaca syahadat dengan lafaz yang sama, sholat subuh dua rakaat, haji di daerah yang sama, puasa di bulan Ramadhan. Akal manusia jelas bisa menjangkau hal yang mutlak, yang tentu saja dalam batas-batas manusia. Artinya, akal manusia bisa meyakini kebenaran yang satu. Tidak benar akal manusia selalu berbeda dalam segala hal. Bahkan dalam menafsirkan Al Qur'an pun, para mufasir tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiaban sholat lima waktu, tidak berbeda dalam kewajiban shoum ramadhan, kewajiban zakat. Para mufasir tidak pernah berbeda dengan haramnya babi, haramnya zina, haramnya khomer, haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, dan sebagainya. para mufasirpun sepakat bahwasannya Nabi Muhammad saw adalah manusia, dan bukan tuhan, atau setengah tuhan.

Ada yang zhanni dan ada yang qoth'i dalam penafsiran Al Qur'an. itu semua sudah mafhum dalam islam. jadi tidak benar jika dikatakan bahwa semuanya adalah zhanni, semuanya adalah relatif. Bahkan ungkapan yang menyatakan bahwa "semuanya adalah relatif" adalah juga "relatif", sehingga ucapan itu sendiri bersifat relatif.

2. Curiga dan mencerca umat islam
Setelah mereka bersepekulasi tentang keotentikan Al Qur'an, mereka pun aktif dalam memberikan tuduhan-tuduhan negatif yang membabi buta kepada ulama-ulama klasik yang telah merumuskan metedeologi keilmuan islam. Seperti Imam Syafi'i mereka meragukan dan menganggap bahwasannya Imam Syafi'i hanyalah penghalang dan penghambat arus pemikiran metedeologi Islam.

Dalam buku Fiqh Lintas Agama yang diterbikan  oleh Paramadina dan The Asia Foundation, disebutkan.

"Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqh yang dibuat Imam Syafi'i. Kita lupa, imam syafi'i memang arsitektur ushul fiqh yang sangat berlian, tapi karna Syafi'ilah pemikiran-pemikiran fiqh tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi'i meletakan kerangka ushul fiqhnya, para pemikir fiqh muslim tidak mampu keluar dari jeratan metedeologinya. Hingga kini, rumusan Syafi'i itu diposisikan begitu agung , sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash syar'i (Al Quran dan Al Hadis). Buktinya setiap penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi'i."

Jika imam syafi'i dikritik dan dicerca, perumus metedeologi pembaruan tafsir islam malahan mendapatkan respon positif dan pujian-pujian bertajuk ilmiah dari pendukung hermeneutika. kalo dicermati dari berbagai segi presfektif tulisannya, mereka bersikap sangat kritis terhadap Ulama-Ulama Islam, tetapi dengan sangat mudahnya mereka menjiplak dan men"taqlid" apa yang dikemukakan oleh para pemikir orientalis dan cendekiawan barat. Tanpa bersikap kritis dan spekulasi terhadap paparan dan argumen yang dikemukakan oleh paran orientalis dan cendikiawan barat. Dan dengan mudah mereka memaksakan paparan para orientalis tersebut diaplikasikan terhadap Al Quran.

Sebenarnya tidak begiru sulit untuk membaca arah para pendukung hermeneutika Al Qur'an, mereka sejatinya ingin mengubah Islam agar bisa disesuaikan dengan zaman modern. Mereka ingin "Islam yang baru", bukan Islam yang dipahami oleh paran sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in, dan generasi awal Islam yang berjasa meletakan pondasi keilmuan muslim yang kokoh dan tahan uji. Mereka hanya terjebak oleh arus metedeologi barat dalam studi agama-agama. Dan menolak metedeologi yang dirumuskan oleh ulama-ulama islam terdahulu. Tetapi malah memasukan unsur metedeologi asing yamg kadang sangat bertentangan dengan metode islam itu sendiri dalam menafsirkan Al Qur'an.

3. Dekontruksi Konsep Wahyu
Belum cukup dengan merelatifkan tafsir, serta menghina dan mencerca Agama. Sekarang para aktifis hermeneutika masuk kedalam posisi yang sangat rawan karena mereka menggugat keotentikan dan finalitas dari Al Qur'an yang "lafzhon wa ma'nan minallah"(lafaz dan ma'nanya dari Allah) . Mereka menganggap bahwasannya Al Qur'an produk budaya, dikarang oleh Nabi Muhamad, dan Al Qur'an dipandang sebagai sejarah masyarakat pada zamannya.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment